Kamis, 25 September 2014

Konsep Yang Salah

Selama ini banyak orang Kristen yang memahami secara dangkal dan keliru pengertian berjalan di dalam terang. 

Mereka berpikir kalau sudah menjadi orang Kristen, tidak melakukan pelanggaran moral dan rajin ke gereja apalagi ikut mengambil bagian dalam kegiatan gereja berarti sudah berjalan dalam terang. Biasanya mereka merasa sudah menjadi anak Tuhan yang benar dan nanti pasti diterima masuk Surga. 

Mereka rajin ke gereja dengan maksud mempertahankan kesetiaan sebagai anak Tuhan atau hidup dalam terang supaya di dunia ini diberkati dengan berkat jasmani yang berlimpah dan kalau mati nanti masuk Surga. 

Ini sesungguhnya sebuah pengertian yang salah. 

Karena pengertian yang salah tersebut, maka banyak orang Kristen tidak berusaha untuk bertumbuh terus guna mencapai keadaan yang benar-benar bisa mengalami hidup dalam terang.

Keadaan orang seperti itu berarti keadaan orang Kristen yang sesat. Tetapi mereka tidak menyadarinya, sehingga kebodohan itu terbawa sampai tua bahkan sampai kematian. Mereka pasti tidak pernah menjadi pribadi yang berkenan di hadapan Tuhan walau pun di mata manusia adalah orang-orang yang baik. 

Ini berarti karya keselamatan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus gagal dalam hidupnya.

 Karya keselamatan membawa orang percaya kepada rancangan Allah yang semula yaitu menjadi manusia yang memiliki kesempurnaan seperti Allah Bapa.

Kesesatan tersebut sering disebabkan oleh pembicara di mimbar gereja yang sebenarnya belum hidup di dalam terang. Sehingga berlaku Firman Tuhan yang diucapkan oleh Tuhan Yesus yaitu orang buta menuntun orang buta (Mat. 15:14). Apalagi kalau dalam pelayanan pembicara tersebut bisa mengadakan demonstrasi karunia-karunia roh atau mukjizat, maka semakin diakui telah mengajarkan kebenaran untuk hidup dalam terang. 

Pembicara sendiri semakin sesat dan jemaat yang mendengarnya juga semakin disesatkan. Tetapi kedua belah pihak tidak menyadarinya. Sungguh, ini berarti suatu kerugian yang sangat besar bagi Kerajaan Surga.

 Banyak orang yang gagal menjadi corpus delicti, sebab tanpa berjalan dalam terang dengan benar seseorang tidak akan pernah menjadi corpus delicti. 

Seorang yang menjadi corpus delicti adalah orang yang kepribadiannya semakin hari semakin sempurna seperti Kristus, dalam kesucian moral, kerendahan hati, kesederhanaan, ketulusan dan lain sebagainya. Amin Tuhan Yesus Memberkati Sola Gracia שאלום.

Kalam Setapak Meraih Kesucian

Jalan Setapak Meraih Kesucian

Mati penasaran, kebalikan dari mati sempurna. Dalam kajian Kejawen, mati dalam puncak kesempurnaan adalah mati moksa atau mosca atau mukswa. Yakni warangka (raga) manjing curigo (ruh). Raga yang suci, adalah yang tunduk kepada kesucian Dzat yang terderivasi ke dalam ruh. Ruh suci/roh kudus (ruhul kuddus) sebagai retasan dari hakikat Dzat, memiliki 20 sifat yang senada dengan 20 sifat Dzat, misalnya kodrat, iradat, berkehendak, mandiri, abadi, dst. Sebaliknya, ruh yang tunduk kepada raga hanya akan menjadi budak nafsu duniawi, sebagaimana sifat hakikat ragawi, yang akan hancur, tidak abadi, dan destruktif. Menjadi raga yang nista, berbanding terbalik dengan gelombang Dzat Yang Maha Suci. Oleh karena itu, menjadi tugas utama manusia, yakni memenangkan perang Baratayudha di Padang Kurusetra, antara Pendawa (kebaikan yang lahir dari akal budi dan panca indera) dengan musuhnya Kurawa (nafsu angkara murka). Perang inilah yang dimaksud pula dalam ajaran Islam sebagai Jihad Fii Sabilillah, bukan perang antar agama, atau segala bentuk terorisme.

Adapun ajaran untuk menggapai kesucian diri, atau Jihad secara Kejawen, yakni mengendalikan hawa nafsu, serta menjalankan budi (bebuden) yang luhur nilai kemanusiannya (habluminannas) yakni ; rela (rilo), ikhlas (legowo), menerima/qonaah (narimo ing pandum), jujur dan benar (temen lan bener), menjaga kesusilaan (trapsilo) dan jalan hidup yang mengutamakan budi yang luhur (lakutama). Adalah pitutur sebagai pengingat-ingat agar supaya manusia selalu eling atau selalu mengingat Tuhan untuk menjaga kesucian dirinya, seperti dalam falsafah Kejawen berikut ini :

“jagad bumi alam kabeh sumurupo marang badan, badan sumurupo marang budi, budi sumurupo marang napsu, napsu sumurupo marang nyowo, nyowo sumurupo marang rahso, rahso sumurupo marang cahyo, cahyo sumurupo marang atmo, atmo sumurupo marang ingsun, ingsun jumeneng pribadi”

(jagad bumi seisinya pahamilah badan, badan pahamilah budi, budi pahamilah nafsu, nafsu pahamilah nyawa, nyawa pahamilah karsa, karsa pahamilah rahsa, rahsa pahamilah cahya, cahya pahamilah Yang Hidup, Yang Hidup pahamilah Aku, Aku berdiri sendiri (Dzat).

Artinya, bahwa manusia sebagai derivasi terakhir yang berasal dari Dzat Sang Pencipta harus (wajib) memiliki kesadaran mikrokosmis dan makrokosmis yakni “sangkan paraning dumadi” serta tunduk, patuh dan hormat (manembah) kepada Dzat Tuhan Pencipta jagad raya.
Selain kesadaran di atas, untuk menggapai kesucian manusia harus tetap berada di dalam koridor yang merupakan “jalan tembus” menuju Yang Maha Kuasa. Adalah 7 perkara yang harus dicegah, yakni;
1.       Jangan ceroboh, tetapi harus rajin sesuci.
2.       Jangan mengumbar nafsu makan, tetapi makanlah jika sudah merasa lapar.
3.       Jangan kebanyakan minum, tetapi minum lah jika sudah merasa haus.
4.       Jangan gemar tidur, tetapi tidur lah jika sudah merasa kantuk.
5.       Jangan banyak omong, tetapi bicara lah dengan melihat situasi dan kondisi.
6.       Jangan mengumbar nafsu seks, kecuali jika sudah merasa sangat rindu.
7.      Jangan selalu bersenang-senang hati dan hanya demi membuat senang orang-orang, walaupun  sedang memperoleh kesenangan, asal tidak meninggalkan duga kira.

Demikian pula, di dalam hidup ini jangan sampai kita terlibat dalam 8 perkara berikut;
1.       Mengumbar hawa nafsu.
2.       Mengumbar kesenangan.
3.       Suka bermusuhan dan tindak aniaya.
4.       Berulah yang meresahkan.
5.       Tindakan nista.
6.       Perbuatan dengki hati.
7.       Bermalas-malas dalam berkarya dan bekerja.
8.       Enggan menderita dan prihatin.
Sebab perbuatan yang jahat dan tingkah laku buruk hanya akan menjadi aral rintangan dalam meraih rencana dan cita-cita, seperti digambarkan dalam rumus bahasa berikut ini;
1.       Nistapapa; orang nista pasti mendapat kesusahan.
2.       Dhustalara; orang pendusta pasti mendapat sakit lahir atau batin.
3.       Dorasangsara; gemar bertikai pasti mendapat sengsara.
4.       Niayapati; orang aniaya pasti mendapatkan kematian.

PERBUATAN, PASTI MENIMBULKAN “RESONANSI”
Demikian lah, sebab pada dasarnya perilaku hidup itu ibarat suara yang kita kumandang akan menimbulkan gema, artinya apapun perbuatan kita kepada orang lain, sejatinya akan berbalik mengenai diri kita sendiri. Jika perbuatan kita baik pada orang lain, maka akan menimbulkan “gema” berupa kebaikan yang lebih besar yang akan kita dapatkan dari orang lainnya lagi. Hal ini dapat dipahami sebagaimana dalam peribahasa;

Barang siapa menabur angin, akan menuai badai,
Siapa menanam, akan mengetam,
Barang siapa gemar menolong, akan selalu mendapatkan kemudahan,
Barang siapa gemar sedekah kepada yang susah, rejekinya akan menjadi lapang.
Orang pelit, pailit
Pemurah hati, mukti

PERILAKU TAPA BRATA

Idealnya, setiap orang sepanjang hidupnya dapat melaksanakan “tapa brata” atau mesu-budi, menahan hawa nafsu, yg mempunyai kesamaan dengan hakikat puasa seperti di bawah ini;
1.   Tapa/puasanya badan/raga; harus anoraga; rendah hati; gemar berbuat baik.
2.   Tapa/puasanya hati; nerima apa adanya; qonaah; tak punya niat/prasangka  buruk, tidak iri hati.
3.   Tapa/puasanya nafsu; ikhlas dan sabar dalam menerima musibah, serta memberi maaf kepada orang  lain.
4.   Tapa/puasanya sukma; jujur.
5.   Tapa/puasanya rahsa; mengerem sembarang kemauan, serta kuat prihatin dan menderita.
6.   Tapa/puasanya cahya; eneng-ening; tirakat atau bertapa dalam keheningan, kebeningan, dan kesucian.
7.   Tapa/puasanya hidup (gesang); eling (selalu ingat/sadar makro-mikrokosmos) dan selalu waspada dari segala perilaku buruk.

Selain itu, anggota badan (raga) juga memiliki tanggungjawab masing-masing sebagai wujud dari hakikat puasa atau tapa brata ;
1.   Tapa/puasanya netro/mata; mencegah tidur, dan menutup mata dari nafsu selalu ingin memiliki/menguasai.
2.   Tapa/puasanya karno/telinga; mencegah hawa nafsu, enggan mendengar yang tak ada manfaatnya atau yang buruk-buruk.
3.   Tapa/puasanya grono/hidung; mencegah sikap gemar membau, dan enggan “ngisap-isap” keburukan orang lain.
4.   Tapa/puasanya lisan/mulut; mencegah makan, dan tidak menggunjing  keburukan orang lain.
5.   Tapa/puasanya puruso/kemaluan; mencegah syahwat, tidak sembarangan ngentot/rakit/ngewe/senggama/zina.
6.   Tapa/puasanya asto/tangan; mencegah curi-mencuri, rampok, nyopet, korupsi, dan tidak suka cengkiling; jail dan menyakiti orang lain.
7.   Tapa/puasanya suku/kaki; mencegah langkah menuju perbuatan jahat, atau kegiatan negatif, tetapi harus gemar berjalan sembari “semadi” yakni berjalan sebari eling lan waspodo.

Tapa/maladihening/mesu budi/puasa seperti di atas dapat diumpamakan dalam gaya bahasa personifikasi, yang memiliki nilai falsafah yang sangat tinggi dan mendalam sbb;

“Katimbang turu, becik tangi. Katimbang tangi, becik melek. Katimbang melek, becik lungguh. Katimbang lungguh, becik ngadeg. Katimbang ngadeg, becik lumakuo”.
(Daripada tidur lebih baik bangun. Daripada bangun lebih baik melek. Daripada melek lebih baik duduk. Daripada duduk lebih baik berdiri. Daripada berdiri lebih baik melangkah lah)

Untuk meraih kesempurnaan dalam melaksanakan tata laku di atas, hendaknya setiap langkah kita selalu eling dan waspada. Agar supaya setelah menjadi manusia pinunjul tidak menjadi sombong dan takabut, sebaliknya justru harus disembunyikan semua kelebihan tersebut, dan tidak kentara oleh orang lain, sehingga setiap jengkal kelemahan tidak memancing hinaan orang lain. Untuk itu manusia pinunjul harus;

1.       Solahbawa, harga diri, perbuatan, harus selalu di jaga
2.       Keluarnya ucapan harus dibuat yang mendinginkan, menyejukkan, dan menentramkan lawan bicara
3.       Raut wajah yang manis, penuh kelembutan dan kasih sayang.


Inilah sejatinya tata krama dalam ajaran Kejawen. Kesempurnaan dalam melaksanakan langkah-langkah di atas, seyogyanya menimbang situasi dan kondisi, menimbang waktu dan tempat secara tepat, tidak asal-asalan. Karena sekalipun “isi”nya berkualitas, tetapi bungkusnya jelek, maka “isi”nya menjadi tidak berharga. Dengan kata lain, jangan mengabaikan (dugoprayoga) duga kira, bagaimana seharusnya yang baik. Sebab sesempurnanya manusia tetap memiliki kekurangan atau kelemahan, sehingga manakala kelemahan dan kekurangan tersebut diketahui orang lain tidak akan menjadi “batu sandungan”. Seperti dalam ungkapan sebagai berikut;

1.       Kusutnya pakaian; tertutup oleh derajat (harga diri) yang luhur.
2.       Terpelesetnya lidah, tertutup oleh manisnya tutur kata.
3.       Kecewanya warna, tertutup oleh budi pekerti.
4.       Cacadnya raga, tertutup oleh air muka yang ramah.
5.       Keterbatasan, tertutup oleh sabar dan bijaksana.

Oleh karena itu, meraih kesempurnaan dalam konteks ini diartikan kesempurnaan dalam melaksanakan tapa brata. Kegagalan melaksanakan tapa brata, dapat membawa manusia kepada zaman “paniksaning gesang” tidak lain adalah nerakanya dunia, seperti di bawah ini;

1.       Zamannya kemelaratan,  dimulai dari perilaku boros
2.       Zamannya menderita aib, dimulai dari watak lupa terlena, tanpa awas.
3.       Zamannya kebodohan, dimulai dari sikap malas dan enggan.
4.       Zamannya angkara, dimulai dengan sikap mau menang sendiri
5.       Zamannya sengsara, dimulai dari perilaku yang kacau.
6.       Zamannya penyakit, diawali dari kenyang makan.
7.       Zamannya kecelakaan, diawali dari perbuatan mencelakai orang lain.

Sebaliknya, “ganjaraning gesang” atau “surganya dunia”,  lebih dari sekedar kemuliaan hidup itu sendiri, yakni; 
1.       Zamannya keberuntungan, awalnya dari sikap hati-hati, tidak ceroboh.
2.       Zamannya kabrajan, awalnya dari budi luhur dan belas kasih.
3.       Zamannya keluhuran, awalnya dari giat andap asor, sopan santun.
4.       Zamannya kebijaksanaan, awalnya dari telaten bibinau.
5.       Zamannya kesaktian (kasekten), awalnya dari puruita dan tapabrata.
6.       Zamannya karaharjan (ketentraman-keselamatan), awalnya dari eling dan waspada.
7.       Zamannya kayuswan (umur panjang), awalnya sabar, qonaah, narimo, legowo, tapa.

SHALAT/SEMBAHYANG DHAIM

Sebagai tulisan penutup, Sabdalangit berusaha memaparkan garis besar TAPA BRATA, agar supaya mudah diingat dan gampang dicerna bagi para pembaca yang masih awam tentang ajaran Kejawen.
Selain dipaparkan di atas, sejalan dengan bertambahnya usia, seyogyanya hidup itu sembari mencari ciptasasmita, “tuah” atau petunjuk yang tumbuh jiwa yang matang dan dari dalam lubuk budi yang suci. Pada dasarnya, tumbuhnya budipekerti (bebuden)  yang luhur, berasal dari tumbuhnya rasa eling, tumbuhnya kebiasaan tapa, tumbuhnya sikap hati-hati,  tumbuhnya “tidak punya rasa punya”,  tumbuhnya kesentausaan, tumbuhnya kesadaran diri pribadi, tumbuhnya “lapang dada”, tumbuhnya ketenangan batin, tumbuhnya sikap manembah (tawadhu’). Pertumbuhan itu berkorelasi positif atau sejalan dengan usia seseorang.
Akan tetapi, jika semakin lanjut usia seseorang akan tetapi perkembangannya berbanding terbalik, mempunyai korelasi negatif, yakni justru memiliki tabiat dan karakter seperti anak kecil, ia merupakan produk topobroto yang gagal. Untuk mencegahnya tidak lain harus selalu mencegah hawa nafsu, serta mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk meraih kesempurnaan ilmu. Begitu pentingnya hingga adalah “wewarah” yang juga merupakan nasehat yang hiperbolis, sbb;


“ageng-agenging dosa punika tiyang ulah ilmu makripat ingkang magel. Awit saking dereng kabuko ing pambudi, dados boten superep ing suraosipun”

            Bagi yang sudah lulus, dapat menerima semua ilmu, tentu akan menemui kemuliaan “sangkan paran ing dumadi”. Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui Tuhannya, sesungguhnya dapat mengetahui di dalam badanya sendiri. Siapa yang sungguh-sunggun mengetahui badannya sendiri, sesungguhnya mengetahui Tuhannya. Artinya siapa yang mengetahui Tuhannya, ia lah yang mengetahui semua ilmu kajaten (makrifat). Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui sejatinya badannya sendiri, ia lah yang dapat mengetahui akan hidup jiwa raganya sendiri. Kita harus selalu ingat bahwa hidup ini tidak akan menemui sejatinya “ajal”, sebab kematian hanyalah terkelupasnya isi dari kulit. “Isi” badan melepas “kulit” yang telah rusak, kemudian “isi” bertugas melanjutkan perjalanan ke alam keabadian.  Hanya raga yang suci yang tidak akan rusak dan mampu menyertai perjalanan “isi”. Sebab raga yang suci, berada dalam gelombang Dzat Illahi yang Maha Abadi.


Maka dari itu, jangan terputus dalam lautan “manembah” kepada Gusti Pangeran Ingkang Sinembah. Agar supaya menggapai “peleburan” tertinggi, lebur dening pangastuti; yakni raga dan jiwa melebur ke dalam Cahaya yang Suci; di sanalah manusia dan Dzat menyatu dalam irama yang sama; yakni manunggaling kawulo gusti. Dengan sarana selalu mengosongkan panca indra, serta menyeiramakan diri pada Sariraning Bathara, Dzat Yang Maha Agung, yang disebut sebagai “PANGABEKTI INGKANG LANGGENG” (shalat dhaim) sujud, manembah (shalat) tanpa kenal waktu, sambung-menyambung dalam irama nafas, selalu eling dan menyebut Dzat Yang serba Maha. Adalah ungkapan;


“salat ngiras nyambut damel, lenggah sinambi lumampah, lumajeng salebeting kendel, ambisu kaliyan wicanten, kesahan kaliyan tilem, tilem kaliyan melek.
(sembahyang sambil bekerja, duduk sambil berjalan, berjalan di dalam diam, membisu dengan bicara, bepergian dengan tidur, tidur sembari melek).

Jika ajaran ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh, berkat Tuhan Yang Maha Wisesa, setiap orang dapat meraih kesempurnaan Waluyo Jati, Paworing Kawulo Gusti, TIDAK TERGANTUNG APA AGAMANYA.

Selasa, 23 September 2014

MENDAHULUKAN KERAJAAN ALLAH


Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.

Matius 6:33

Kalimat ini adalah puncak dari khotbah Tuhan Yesus yang berhubungan dengan kekuatiran (Matius 6:25-34).

Kata “carilah” adalah dalam bentuk present imperative, yang artinya kita dipanggil untuk terus-menerus atau membiasakan diri untuk mencari Kerajaan Allah dalam kehidupan mengikut Tuhan, sebab kita adalah anak-anak dalam Kerajaan-Nya, di mana Dia adalah Bapa kita (ay. 22). Hanya, kata “mencari” (zeteo) bukanlah dalam arti kita dapat dengan usaha sendiri mencari dan memperoleh Kerajaan itu, melainkan dalam arti bahwa kita dipanggil untuk berusaha mengutamakan atau menomorsatukan Kerajaan Allah dalam hidup kita, di mana Dia adalah Raja kita, dan kita dipanggil untuk sepenuhnya menaati kehendak dan kuasa-Nya. Oleh sebab itu nasihat Tuhan tidak berhenti sampai di situ saja, Ia melanjutkan,

“Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya …”

Kata “kebenaran” adalah dikaiosune atau righteousness. Dan kata ganti “nya” seharusnya ditulis dengan huruf besar “Nya”, karena yang dimaksud adalah kebenaran Allah, bukan kebenaran manusia. Donald Hagner berpendapat bahwa, the kingdom and the righteosness of the kingdom go together. Participation in the kingdom necessitates righteousness. Oleh sebab itu setelah pemberian anugerah Kerajaan Allah, kita dituntut untuk suatu pemberian anugerah Kerajaan Allah, kita dituntut untuk suatu kehidupan yang benar, yaitu kebenaran-Nya, bukan kebenaran menurut ukuran manusia, yang oleh Leon Morris digambarkan sebagai the right standing before God that comes about as the result of Christ’s saving work.Dengan kata lain, kita dapat hidup benar adalah karena kita sudah dibenarkan oleh Allah. “In this context seeking God’s righteousness will mean seeking that righteousness which God only can give.” Jadi, pengertian kebenaran atau hidup benar di sini mempunyai arti yang sama, yaitu dikaiosune atau righteousness. Jadi mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya adalah pemberian anugerah Allah bagi orang-orang percaya. Dengan anugerah pertolongan-Nya kita dapat hidup benar di mata Tuhan, karena only God is righteousness. George Ladd mengatakan, “We are to seek God’s righteousness: His way, His rule, HIs reign in our lives“. Dengan demikian “semuanya itu akan ditambahkan kepada kita.” Apa yang dimaksud dengan semuanya itu?

Apabila kita melihat konteksnya, “semuanya” itu ialah apa yang umumnya dicari dan dikuatirkan oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, yaitu makanan, minuman, dan pakaian (ay. 31-32). Kata “ditambahkan” adalah kata kerja pasif, yang sering disebut sebagai divine passive, suatu bentuk pasif yang sering muncul dalam kitab Wahyu, yang menunjukkan Allah yang bekerja di belakangnya, Allah yang menambahkan semuanya itu kepada anak-anak-Nya. Kami senang dengan kata “menambahkan”, yang artinya memberi lagi di atas apa yang telah kita miliki: “The things in question will be added to what the disciple already has” (Morris). Apabila Allah memberi hidup kepada kita, Allah pasti memberi sarana hidup yang kita butuhkan, yaitu makanan, minuman, dan pakaian. Karena, Dia adalah Allah Bapa yang peduli terhadap burung di langit dan rumput di ladang, apalagi kita sebagai anak-anak-Nya. Kita dipanggil untuk percaya dan bersandar kepada-Nya.

HANYA PRIORITASKAN TUHAN YESUS

HANYA PRIORITASKAN TUHAN

Baca:  Matius 6:25-34

"Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu."  Matius 6:33

Banyak orang Kristen bertanya-tanya dalam hati,  "Kalau kita mengikut Tuhan, katanya hidup kita akan diberkati, apa saja dibuat-Nya berhasil, semua usaha akan lancar dan kita akan terbebas dari masalah.  Namun mengapa tidak demikian?"  Adalah benar bila hidup di dalam Tuhan itu selalu ada berkat, perlindungan dan juga jaminan pemeliharaan karena ada penyertaan Tuhan di setiap langkah hidup kita.  Inilah janji Tuhan,  "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau."  (Ibrani 13:5b). 

 Tapi adakalanya dalam perjalanan hidup ini kita diperhadapkan dengan jalan yang berbatu, penuh cadas dan mendaki, ada masalah dan juga ujian.  Namun yakinlah bahwa semuanya adalah bagian dari proses yang harus kita jalani. 

 "Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu."  (1 Korintus 10:13b).  Tuhan selalu buka jalan saat tiada jalan, tangan-Nya selalu menopang kita saat jatuh sehingga kita tidak sampai tergeletak  (baca  Mazmur 37:24).

     Agar janji berkat pertolongan, pemeliharaan dan pembelaan Tuhan benar-benar digenapi dalam hidup ini ada harga yang harus kita bayar, yaitu  "...carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu."  (ayat nas).  Kata mencari menunjuk kepada usaha yang dilakukan dengan sungguh dan secara terus-menerus sampai mendapatkan sesuatu.  

Artinya kita harus menempatkan Tuhan Yesus sebagai yang terutama dalam hidup ini;  mengejar perkara-perkara rohani lebih daripada perkara-perkara yang ada di dunia.  Rasul Paulus pun menasihati,  "...carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi."  (Kolose 3:1-2).  

Melalui pertolongan Roh Kudus kita berusaha menaati perintah Tuhan.  Jika kita melakukan apa yang diperintahkan Tuhan ini, tidak ada alasan bagi kita untuk merasa kuatir dan cemas akan kebutuhan kita sebab semuanya pasti akan disediakan Tuhan.

     Sudahkah kita memperhatikan jam-jam doa, menyediakan waktu untuk membaca dan merenungkan firman-Nya, tekun beribadah serta melayani Dia sepenuh hati?

Bila kita belum melakukan itu artinya kita belum memprioritaskan Tuhan.


Menjadikan Dia Yesus Cukup Bagi Kita

Menjadikan Dia Cukup Bagi Kita.
Sesungguhnya tidak mudah untuk menjadikan Tuhan sebagai kebahagiaan, sebab suasana jiwa kita sejak kecil sudah terbiasa dipengaruhi oleh suasana dunia sekitar dengan berbagai fasilitasnya.
Kebahagiaan hampir semua manusia pada umumnya sudah terbiasa ditopang oleh suasana sekitar yang nyaman dan aman oleh kehadiran orang-orang yang membahagiakan serta fasilitas materi atau kekayaan dunia. Sehingga manusia terkunci oleh pola hidup seperti itu. 
Hal ini sudah terjadi belasan bahkan sampai puluhan tahun, jadi cita rasa jiwa sudah terlanjur rusak. Sama seperti kalau lidah seseorang (cita rasa lidah) sudah terbiasa dengan jenis masakan atau makanan tertentu maka ia akan terikat dengan jenis masakan atau makanan tersebut pula.
Dunia kita hari ini yang setiap hari dibanjiri iklan-iklan dengan seribu satu macam barang yang ditawarkan, hal tersebut membuat manusia akhirnya menjadi konsumtif. 
Banyak orang Kristen dibuat selalu tidak merasa puas dengan apa yang ada, selalu berusaha memiliki apa yang orang lain miliki. 
Mereka tidak pernah berkata Yesus cukup bagiku apalagi menjadikan Tuhan segalanya. Sehingga mereka tidak lagi memikirkan masa depan kekekalan sama sekali. 
Pada umumnya seseorang berpikir selama masih bisa mengumpulkan harta sebanyak-banyak di bumi, apa salahnya mengumpulkannya. Mengapa tidak memanfaatkan kesempatan yang terbatas ini untuk menikmati dunia, toh hidup hanya sekali. Demikianlah filosofinya.
Dengan cara berpikir yang salah tersebut banyak orang semakin menggantungkan suasana jiwa mereka bukan pada Tuhan, sehingga mereka memberhalakan banyak hal. Pada hal hidup manusia tidak tergantung dari dunia ini, yaitu segala fasilitas kekayaan dunia (Luk. 15:12). 
Lagi pula suatu hari nanti setiap kita akan pergi sendiri tanpa apa-apa dan siapa-siapa, sebagaimana kita juga datang sendiri (Ayub 1:21).
Hal ini kebalikannya dengan orang- orang yang mengenal kebenaran, prinsipnya adalah selagi masih hidup di bumi harus mencari perkara-perkara di atas. Hal ini sama dengan mengikat persahabatan (dengan Tuhan) dengan menggunakan kekayaan atau semua potensi yang bisa kita miliki (Luk. 16:9). 
Sesungguhnya tingkat kekristenan seperti ini adalah tingkat Kekristenan yang luar biasa. Ini berarti seseorang sudah sampai level menjadikan Tuhan sebagai segalanya dalam hidup ini.
Ami Tuhan YESUS Memberkati Sola Gracia سلام Σηαλομ שאלום.₪ truth-media.com.

PERSEMBAHAN YANG BERKENAN.




PERSEMBAHAN YANG BERKENAN. 1

Baca:  Ibrani 11:4

"Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain."  Ibrani 11:4a

Selain melihat pribadi dari si pemberi persembahan, Tuhan juga sangat memperhatikan motivasi hati.  Persembahan Kain ditolak oleh Tuhan karena persembahannya tidak sesuai dengan kehendak-Nya.  Alkitab mencatat bahwa Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanahnya, artinya ia memberi sekedarnya, tidak memberi yang terbaik dan tidak dengan sepenuh hati.  Berbeda dengan Habel yang mempersembahkan  'anak sulung'  dari kambing dombanya.  Dalam hal ini Habel memberi yang terbaik dari yang dimilikinya;  ia tidak memberi secara asal, melainkan mempersembahkan domba-domba yang terpilih yaitu yang sulung dan gemuk.  Mempersembahkan yang sulung sebagai bukti bahwa ia sangat menghargai dan menghormati Tuhan.

     Setelah persembahannya ditolak Tuhan Kain menjadi marah, panas hati dan mukanya menjadi muram.  Reaksi kemarahan adalah tanda ketidakmurnian hati Kain saat memberi.  Ia memberi dengan harapan beroleh suatu balasan, baik itu berupa pujian atau sanjungan dari orang lain;  dan sikap hati yang salah inilah akhirnya mendorong Kain untuk melakukan perbuatan jahat yaitu tega membunuh Habel, yang adalah adik kandungnya sendiri;  sementara, Habel memberikan persembahan kepada Tuhan dengan motivasi yang benar-benar tulus.  Kerelaan hati dan kasihnya yang besar kepada Tuhan menjadi dasar baginya untuk memberikan yang terbaik.  Inilah tindakan iman!  Habel memberi bukan menurut kehendak sendiri, tapi memberi sesuai standar yang diinginkan Tuhan.  "...tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia."  (Ibrani 11:6).

     Segala sesuatu yang kita kerjakan dan perbuat untuk Tuhan  (ibadah, pelayanan dan memberi persembahan)  haruslah dilandaskan kepada iman yang benar kepada Tuhan.  "...iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna."  (Yakobus 2:22).

Persembahan harus dilandaskan pada motivasi yang benar dan dengan iman, yang olehnya kita akan selalu memberi yang terbaik bagi Tuhan!. Amin Tuhan Yesus Memberkati.

PERSEMBAHAN YANG BERKENAN. 2

Baca:  Kejadian 4:1-16

"Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu,"  Kejadian 4:4

Setiap kita pasti punya kerinduan yang sama yaitu apa pun yang kita kerjakan  (ibadah, pelayanan)  dan juga persembahan yang kita bawa kepada Tuhan itu sesuai dengan kemauan Tuhan, diterima oleh-Nya.  Kita pasti tidak berharap bahwa persembahan kita  (waktu, tenaga, pikiran, bahkan materi)  yang kita berikan kepada Tuhan menjadi sia-sia, ditolak dan diabaikan Tuhan.

     Kain dan Habel sama-sama memberikan korbah persembahan kepada Tuhan.  "...Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan;  Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya,"  (Kejadian 4:3-4).  Alkitab menyatakan bahwa Tuhan mengindahkan persembahan Habel, namun tidak persembahan Kain.  Mengapa?  Kalau kita teliti lebih dalam, Tuhan terlebih dahulu memperhatikan pribadi, setelah itu baru persembahannya.  Dikatakan,  "...TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu, tetapi Kaindan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya."  (Kejadian 4:4-5).  Artinya, siapa yang memberikan persembahan itu menjadi perhatian utama Tuhan dan jauh lebih penting dari persembahan itu sendiri,  "...sebab TUHAN menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita. Jika engkau mencari Dia, maka Ia berkenan ditemui olehmu, tetapi jika engkau meninggalkan Dia maka Ia akan membuang engkau untuk selamanya."  (1 Tawarikh 28:9).  Dalam memberikan persembahan kepada Tuhan, kita harus terlebih dahulu dalam kondisi benar dan memiliki kehidupan yang layak di hadapan Tuhan.  Jangan pernah berpikir bahwa Tuhan bisa kita sogok atau suap dengan persembahan kita, sementara kita sendiri hidup dalam ketidaktaatan.

     Jangan bangga dahulu jika kita merasa telah memberikan persembahan bagi pekerjaan Tuhan atau bahkan menjadi donatur gereja bila hal itu semata-mata untuk menutupi dosa-dosa kita.

Ketaatan seseorang adalah hal utama yang akan menentukan apakah persembahan itu berkenan kepada Tuhan atau tidak! Amin Tuhan Yesus Memberkati.




Minggu, 21 September 2014

Bersukacita Karena Tuham Adalah Perintah

 Bersukacita Adalah Perintah.

Dengan siapa seseorang merasa hidupnya bahagia atau bersukacita maka kepadanya jiwanya terikat, kepada sesuatu atau seseorang itulah hidupnya bergantung. 

Ini berarti sesuatu atau seseorang itulah tuhannya yang kepadanya hidupnya diarahkan dan mengabdi. Kalau seseorang terikat dengan kekayaan materi, maka Tuhannya adalah materi tersebut. Kalau seseorang terikat pada seseorang apakah itu pasangan hidup, anak, sahabat dan lain sebagainya yang seakan tanpa orang tersebut hidup kita tidak lengkap dan tidak bahagia, maka dia menjadi tuhan atau berhala. Hal ini bukan berarti kita boleh membuang mereka. 

Tuhan menghendaki agar keterikatan kita dengan Tuhan lebih dari keterikatan kita dengan siapa pun dan apapun. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan: “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku (Luk. 14:26).

Oleh sebab itu kita tidak boleh bersukacita di dalam apa pun dan siapa pun selain kepada Tuhan. Tidak heran kalau hal bersukacita di dalam Tuhan merupakan perintah atau semacam himbauan atau panggilan (Flp. 4:4). Demikian pula Firman Tuhan di dalam Mazmur 37: 4, tertulis: bergembiralah karena Tuhan. 

Apa maksud ayat ini? Ayat hendak menunjukkan bahwa bersukacita karena Tuhan atau yang sama dengan menjadikan Tuhan sebagai kebahagiaan adalah sebuah perintah. Sebagai umat Tuhan kita harus berani mensejajarkan perintah untuk bersukacita karena atau di dalam Tuhan dengan perintah lain.

Tuhan juga berfirman: bergembiralah karena Tuhan itu dalam Mazmur 37:4 ini. Ayat ini tidak bermaksud agar kita bersukacita di dalam Tuhan demi supaya Tuhan memberi apa yang menjadi keinginan hati kita. Jika demikian maka sukacita kita karena Dia tidak tulus atau tidak natural; berarti munafik. Maksud ayat tersebut adalah agar hati kita tidak memberhalakan sesuatu atau seseorang. 

Kalau selama ini kita menggantungkan sukacita kita bukan kepada Tuhan, tetapi kepada hal-hal lain seperti harta, kehormatan, penampilan, pangkat, fasilitas dunia dan lain sebagainya, 

tetapi sekarang kita harus mulai belajar dengan sungguh-sungguh menggantungkan sukacita kita kepada Tuhan. Amin Tuhan Yesus Memberkati Sola Gracia. שאלום ₪. truth-media.

Penyertaan Tuhan Sangat Penting

TANPA PENYERTAAN TUHAN


Baca:  1 Samuel 5:1-12

"Sesudah orang Filistin merampas tabut Allah, maka mereka membawanya dari Eben-Haezer ke Asdod."  1 Samuel 5:1

Bagi bangsa Israel Tabut Tuhan atau Tabut Perjanjian itu sangat penting.  Tabut Tuhan adalah tanda kehadiran Tuhan di tengah-tengah mereka, tanda penyertaan Roh Tuhan atas mereka.  Bisa dibayangkan bagaimana keadaan bangsa Israel tanpa Tabut Allah:  sangat kacau, penuh persoalan, peperangan dan ancaman dari berbagai sisi kehidupan.

     Pada waktu Tabut Perjanjian itu berada di negeri orang Filistin, mereka mengalami masa-masa yang sangat berat, karena tanpa Tabut itu berarti mereka tidak lagi mengalami penyertaan Tuhan.  Orang Filistin membawa Tabut Tuhan itu ke negerinya setelah mereka mampu mengalahkan bangsa Israel.  "Orang Israel melarikan diri dari hadapan orang Filistin; kekalahan yang besar telah diderita oleh rakyat; lagipula kedua anakmu, Hofni dan Pinehas, telah tewas, dan tabut Allah sudah dirampas."  (1 Samuel 4:17).  Lalu, apakah dengan keberadaan Tabut Tuhan di Filistin, orang-orang mengalami penyertaan dan pertolongan Tuhan?  Justru sebaliknya, kehadiran Tabut Tuhan adalah bencana bagi mereka.  Mengapa?  Karena bangsa Filistin adalah bangsa yang 'tidak bersunat' atau bangsa kafir, penyembah berhala.  Itulah sebabnya orang-orang Filistin tidak tahan menghadapi tekanan tangan Tuhan, sampai-sampai mereka memindahkan Tabut Tuhan itu ke-3 tempat yang berbeda selama kurun waktu tujuh bulan:  di Asdod, Gat dan Ekron.  Selama itu pula orang-orang Filistin mengalami msibah demi musibah:  patung dewa Dagon hancur berantakan ketika dihadapkan pada Tabut Tuhan, juga penduduk kota Asdod dihajar Tuhan dengan borok-borok:  "...di seluruh kota itu ada kegemparan maut;"  (1 Samuel 5:11b).  Karena tidak kuat dengan penderitaan yang ada, orang-orang Filistin bersepakat mengembalikan Tabut Tuhan itu kepada bangsa Israel.

     Begitu juga dengan kita, tanpa penyertaan Tuhan dan Roh Kudus kita ini bukan siapa-siapa dan tidak akan bisa berbuat apa-apa.  Tanpa Tuhan, kita akan hidup dalam kegagalan dan kehancuran.  Oleh karena itu mari kita menghormati hadirat Tuhan lebih lagi, beribadah lebih sungguh-sungguh dan melayani Dia dengan sepenuh hati.

Jangan kita hanya melayani Tuhan ala kadarnya, asal-asalan dan dengan waktu dan tenaga kita yang tersisa.